Tantrum atau ledakan emosi pada anak sering kali dianggap sebagai perilaku manja atau bentuk pembangkangan. Padahal, tantrum merupakan bagian dari perkembangan emosi yang wajar, terutama pada anak usia dini yang belum mampu mengungkapkan perasaan secara verbal. Utama (2023) menjelaskan bahwa tantrum muncul karena anak mengalami frustrasi saat keinginannya tidak terpenuhi atau saat merasa tidak dipahami. Dalam situasi ini, anak belum memiliki keterampilan regulasi emosi yang memadai. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memahami bahwa tantrum bukan sekadar soal manja, melainkan sinyal bahwa anak membutuhkan bantuan dalam mengelola emosinya.
Salah satu faktor pemicu tantrum yang sering terjadi di era digital adalah penggunaan gawai secara berlebihan. Fadillah dan Wulandari (2024) menemukan bahwa anak yang terlalu sering menggunakan smartphone cenderung lebih mudah mengalami tantrum ketika akses terhadap perangkat tersebut dibatasi. Hal ini terjadi karena anak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kurang terlatih dalam menghadapi penundaan atau kekecewaan. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengatur waktu layar dan mengenalkan aktivitas alternatif yang lebih interaktif dan menstimulasi perkembangan sosial-emosional anak. Keseimbangan antara teknologi dan interaksi nyata menjadi kunci dalam mencegah tantrum yang berulang.
Di lingkungan sekolah, guru juga memiliki peran penting dalam membantu anak mengelola tantrum. Sari dan Sitepu (2024) menyarankan penggunaan metode time-out sebagai salah satu strategi untuk membantu anak menenangkan diri tanpa hukuman fisik atau verbal. Metode ini memberikan ruang bagi anak untuk merefleksikan perilakunya dan belajar mengenali emosi yang sedang dirasakan. Guru yang responsif dan sabar dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman secara emosional, sehingga anak merasa didukung dalam proses pengendalian diri. Kolaborasi antara guru dan orang tua sangat penting agar pendekatan yang digunakan konsisten di rumah dan sekolah.
Untuk mengatasi tantrum secara positif, orang tua dapat menerapkan beberapa strategi berikut:
● Tetap tenang dan tidak bereaksi secara emosional saat anak tantrum.
● Validasi perasaan anak dengan mengatakan, “Ibu tahu kamu sedang marah.”
● Ajak anak bernapas dalam-dalam atau duduk di tempat tenang hingga emosi mereda.
● Gunakan waktu setelah tantrum untuk berdiskusi dan mengenalkan kosakata emosi.
● Bangun rutinitas harian yang stabil agar anak merasa aman dan terprediksi.
Ummah (2024) menekankan bahwa strategi positif seperti konsistensi, empati, dan komunikasi terbuka lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan dengan hukuman. Anak yang merasa dipahami dan didampingi akan lebih cepat belajar mengelola emosinya secara sehat. Dengan pendekatan yang tepat, tantrum dapat menjadi momen belajar, bukan sekadar masalah perilaku. Maka, mari ubah cara pandang kita: tantrum bukan tanda manja, melainkan sinyal bahwa anak sedang belajar menjadi pribadi yang lebih kuat secara emosional.
Referensi:
Fadillah, K. N., & Wulandari, H. (2024). Dampak perilaku tantrum terhadap penggunaan smartphone pada anak usia dini. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(2), 3940–3952.
Sari, M., & Sitepu, J. M. (2024). Peran Guru dalam Mengatasi Anak Temper Tantrum melalui Metode Time Out pada Aktivitas Pembelajaran. Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 230–241.
Ummah, I. (2024). Strategi Positif dalam Mengatasi Tantrum Pada Anak Usia Dini. Student Scientific Creativity Journal, 2(4), 139–148.
Utama, A. A. (2023). Perilaku Tantrum Pada Anak Usia Dini di TK ABA Sumbawa. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 8(2), 374–378.
Salah satu faktor pemicu tantrum yang sering terjadi di era digital adalah penggunaan gawai secara berlebihan. Fadillah dan Wulandari (2024) menemukan bahwa anak yang terlalu sering menggunakan smartphone cenderung lebih mudah mengalami tantrum ketika akses terhadap perangkat tersebut dibatasi. Hal ini terjadi karena anak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kurang terlatih dalam menghadapi penundaan atau kekecewaan. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengatur waktu layar dan mengenalkan aktivitas alternatif yang lebih interaktif dan menstimulasi perkembangan sosial-emosional anak. Keseimbangan antara teknologi dan interaksi nyata menjadi kunci dalam mencegah tantrum yang berulang.
Di lingkungan sekolah, guru juga memiliki peran penting dalam membantu anak mengelola tantrum. Sari dan Sitepu (2024) menyarankan penggunaan metode time-out sebagai salah satu strategi untuk membantu anak menenangkan diri tanpa hukuman fisik atau verbal. Metode ini memberikan ruang bagi anak untuk merefleksikan perilakunya dan belajar mengenali emosi yang sedang dirasakan. Guru yang responsif dan sabar dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman secara emosional, sehingga anak merasa didukung dalam proses pengendalian diri. Kolaborasi antara guru dan orang tua sangat penting agar pendekatan yang digunakan konsisten di rumah dan sekolah.
Untuk mengatasi tantrum secara positif, orang tua dapat menerapkan beberapa strategi berikut:
● Tetap tenang dan tidak bereaksi secara emosional saat anak tantrum.
● Validasi perasaan anak dengan mengatakan, “Ibu tahu kamu sedang marah.”
● Ajak anak bernapas dalam-dalam atau duduk di tempat tenang hingga emosi mereda.
● Gunakan waktu setelah tantrum untuk berdiskusi dan mengenalkan kosakata emosi.
● Bangun rutinitas harian yang stabil agar anak merasa aman dan terprediksi.
Ummah (2024) menekankan bahwa strategi positif seperti konsistensi, empati, dan komunikasi terbuka lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan dengan hukuman. Anak yang merasa dipahami dan didampingi akan lebih cepat belajar mengelola emosinya secara sehat. Dengan pendekatan yang tepat, tantrum dapat menjadi momen belajar, bukan sekadar masalah perilaku. Maka, mari ubah cara pandang kita: tantrum bukan tanda manja, melainkan sinyal bahwa anak sedang belajar menjadi pribadi yang lebih kuat secara emosional.
Referensi:
Fadillah, K. N., & Wulandari, H. (2024). Dampak perilaku tantrum terhadap penggunaan smartphone pada anak usia dini. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(2), 3940–3952.
Sari, M., & Sitepu, J. M. (2024). Peran Guru dalam Mengatasi Anak Temper Tantrum melalui Metode Time Out pada Aktivitas Pembelajaran. Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 230–241.
Ummah, I. (2024). Strategi Positif dalam Mengatasi Tantrum Pada Anak Usia Dini. Student Scientific Creativity Journal, 2(4), 139–148.
Utama, A. A. (2023). Perilaku Tantrum Pada Anak Usia Dini di TK ABA Sumbawa. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 8(2), 374–378.
