Pengasuhan yang efektif tidak hanya bergantung pada aturan dan disiplin, tetapi juga pada kemampuan orang tua untuk memahami perasaan anak. Empati menjadi kunci dalam membangun hubungan yang sehat antara orang tua dan anak, karena anak yang merasa dipahami cenderung lebih kooperatif dan taat. Strayer dan Roberts (2004) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua dengan tingkat empati tinggi menunjukkan ekspresi emosi yang lebih sehat dan perilaku yang lebih positif. Ketika anak merasa bahwa emosinya diakui, mereka lebih terbuka terhadap arahan dan batasan yang diberikan. Oleh karena itu, mengasuh dengan empati bukan berarti memanjakan, melainkan membimbing dengan hati.
Empati dalam pengasuhan juga berperan penting dalam membentuk keterikatan emosional yang kuat antara anak dan orang tua. Stern, Borelli, dan Smiley (2015) menekankan bahwa empati orang tua berkontribusi besar terhadap kualitas keterikatan anak, yang berdampak pada rasa aman dan kepercayaan diri anak dalam berinteraksi. Anak yang memiliki keterikatan yang sehat akan lebih mudah menerima arahan karena merasa bahwa orang tuanya adalah figur yang aman dan mendukung. Dalam praktiknya, empati dapat diwujudkan melalui mendengarkan aktif, validasi emosi, dan respons yang penuh pengertian. Ini menciptakan suasana rumah yang kondusif bagi tumbuh kembang anak secara emosional dan sosial.
Mengasuh dengan empati bukan berarti menghindari aturan, tetapi menyampaikan aturan dengan cara yang menghargai perasaan anak. Misalnya, saat anak kecewa karena tidak boleh bermain gawai, orang tua dapat mengatakan, “Ibu tahu kamu ingin bermain, tapi sekarang waktunya istirahat agar kamu tetap sehat.” Pendekatan ini membantu anak memahami alasan di balik aturan dan merasa bahwa perasaannya tetap dihargai. Anak yang dibesarkan dengan pendekatan ini akan belajar mengelola emosinya dan memahami konsekuensi secara logis. Dalam jangka panjang, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang disiplin, mandiri, dan penuh empati terhadap orang lain.
Berikut beberapa strategi praktis untuk menerapkan pengasuhan berbasis empati:
● Dengarkan anak tanpa interupsi saat mereka menyampaikan perasaan.
● Validasi emosi anak dengan kalimat seperti “Kamu sedih karena mainannya rusak, ya?”
● Gunakan bahasa yang lembut dan penuh pengertian saat menetapkan batasan.
● Libatkan anak dalam pengambilan keputusan kecil untuk membangun rasa tanggung jawab.
● Tunjukkan kasih sayang secara konsisten melalui pelukan, pujian, dan waktu berkualitas.
Dengan mengasuh anak menggunakan empati, orang tua tidak hanya membentuk perilaku yang taat, tetapi juga membangun fondasi emosional yang kuat. Anak akan merasa dihargai, didukung, dan lebih mampu menghadapi tantangan dengan sikap positif. Empati bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan hati orang tua dan anak. Maka, mari mulai membangun kedekatan yang bermakna melalui pengasuhan yang penuh pengertian dan cinta.
Referensi:
Stern, J. A., Borelli, J. L., & Smiley, P. A. (2015). Assessing parental empathy: A role for empathy in child attachment. Attachment & Human Development, 17(1), 1–22.
Strayer, J., & Roberts, W. (2004). Children's anger, emotional expressiveness, and empathy: Relations with parents’ empathy, emotional expressiveness, and parenting practices. Social Development, 13(2), 229–254.
Empati dalam pengasuhan juga berperan penting dalam membentuk keterikatan emosional yang kuat antara anak dan orang tua. Stern, Borelli, dan Smiley (2015) menekankan bahwa empati orang tua berkontribusi besar terhadap kualitas keterikatan anak, yang berdampak pada rasa aman dan kepercayaan diri anak dalam berinteraksi. Anak yang memiliki keterikatan yang sehat akan lebih mudah menerima arahan karena merasa bahwa orang tuanya adalah figur yang aman dan mendukung. Dalam praktiknya, empati dapat diwujudkan melalui mendengarkan aktif, validasi emosi, dan respons yang penuh pengertian. Ini menciptakan suasana rumah yang kondusif bagi tumbuh kembang anak secara emosional dan sosial.
Mengasuh dengan empati bukan berarti menghindari aturan, tetapi menyampaikan aturan dengan cara yang menghargai perasaan anak. Misalnya, saat anak kecewa karena tidak boleh bermain gawai, orang tua dapat mengatakan, “Ibu tahu kamu ingin bermain, tapi sekarang waktunya istirahat agar kamu tetap sehat.” Pendekatan ini membantu anak memahami alasan di balik aturan dan merasa bahwa perasaannya tetap dihargai. Anak yang dibesarkan dengan pendekatan ini akan belajar mengelola emosinya dan memahami konsekuensi secara logis. Dalam jangka panjang, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang disiplin, mandiri, dan penuh empati terhadap orang lain.
Berikut beberapa strategi praktis untuk menerapkan pengasuhan berbasis empati:
● Dengarkan anak tanpa interupsi saat mereka menyampaikan perasaan.
● Validasi emosi anak dengan kalimat seperti “Kamu sedih karena mainannya rusak, ya?”
● Gunakan bahasa yang lembut dan penuh pengertian saat menetapkan batasan.
● Libatkan anak dalam pengambilan keputusan kecil untuk membangun rasa tanggung jawab.
● Tunjukkan kasih sayang secara konsisten melalui pelukan, pujian, dan waktu berkualitas.
Dengan mengasuh anak menggunakan empati, orang tua tidak hanya membentuk perilaku yang taat, tetapi juga membangun fondasi emosional yang kuat. Anak akan merasa dihargai, didukung, dan lebih mampu menghadapi tantangan dengan sikap positif. Empati bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan hati orang tua dan anak. Maka, mari mulai membangun kedekatan yang bermakna melalui pengasuhan yang penuh pengertian dan cinta.
Referensi:
Stern, J. A., Borelli, J. L., & Smiley, P. A. (2015). Assessing parental empathy: A role for empathy in child attachment. Attachment & Human Development, 17(1), 1–22.
Strayer, J., & Roberts, W. (2004). Children's anger, emotional expressiveness, and empathy: Relations with parents’ empathy, emotional expressiveness, and parenting practices. Social Development, 13(2), 229–254.
